JAKARTA– Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih terus melakukan pemeriksaan Saksi-saksi dalam Perkara No. 15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia. Hari ini KPPU memeriksa pemilik Toko MTR, distributor yang berlokasi di Pasar Pusat Payakumbuh Sumatera Barat, dan Manajer Pemasaran PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), sebagai Saksi dari pihak Terlapor dalam persidangan yang dilaksanakan secara hybrid di Kantor Pusat KPPU Jakarta.
Saksi pertama, Dedy Mulyadi, pemilik Toko MTR memberikan keterangan bahwa sejak berdiri tahun 1970-an telah menjual produk sabun, minyak goreng (migor), obat nyamuk serta kebutuhan harian lainnya terkecuali beras dan telur. Toko MTR memasarkan migor (kemasan dan curah) yang didapatnya dari PT Incasi Raya untuk dijual ke berbagai toko. Produk migor yang dijual adalah dengan merek Sari Murni dan Kuali. Merek lain, Gurih, hanya dijual jika ada permintaan. Saksi mengatakan selama periode Oktober-Desember 2021 melakukan pemesanan ke PT Incasi Raya rata-rata sebanyak 1000 dus/mobil.
Pada bulan Januari 2022, harga sudah mulai naik dan paling mahal mencapai Rp18.000. Pada bulan Februari-Maret 2022 terjadi antrean panjang untuk pembelian migor. Pada bulan Maret, permintaan melonjak dan permintaan pasar naik menjadi 2 hingga 3 kali lipat. Sedangkan pada bulan April permintaan sudah mulai menurun lantaran harga minyak curah sudah murah. Saksi menambahkan sekarang menjual Minyakita yang didapat dari PT Incasi Raya dan lebih laku karena harga Minyakita yang lebih murah yakni sebesar Rp14.000, sedangkan minyak curah Rp14.500. Tetapi untuk pemesanan Minyakita dibatasi, karena Saksi memesan 300 dus tetapi yang didapat hanya 25 dus saja. “Minyakita membuat minyak kemasan dan curah tidak laris” tutur Saksi.
Saksi kedua, Surya Dharmanto, Manajer Pemasaran PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) memberikan keterangan bahwa bahan dasar minyak goreng adalah CPO yang menjadi komponen biaya produksi migor sebesar 85%. Sehingga dapat dikatakan harga migor bergantung pada harga CPO. SIMP memperoleh CPO dari kebun sendiri, namun hanya sebesar 12% dari kebutuhan CPO, selebihnya diperoleh dari luar. Dalam keterangannya, Saksi mengatakan bahwa memang tren harga CPO naik pada bulan Juli – November 2021, sehingga sangat mempengaruhi harga migor. SIMP selalu memberikan notifikasi kepada ritel modern tentang adanya perubahan harga. Lebih lanjut, SIMP mengatakan pada tahun 2021 mengeluarkan dua kali notifikasi kepada ritel modern yaitu di tanggal 18 Oktober 2021 dan 16 November 2021. Notifikasi yang dikeluarkan pada 16 November 2021 berupa penurunan harga menyesuaikan dengan adanya program pemerintah untuk stabilisasi harga menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru.
Saksi menekankan bahwa pada periode penerapan kebijakan HET, SIMP mengikuti program tersebut dengan harga sendiri. Dalam artian, tidak menuntut rafaksi atau penggantian dari pemerintah. Setelah 16 Maret 2022, seiring dengan adanya pencabutan HET, harga kembali ke harga keekonomian. Tingkat service level pada periode HET lebih tinggi dari pada setelah dicabutnya kebijakan HET. Menurut Saksi, penurunan service level tersebut terjadi karena selama tahun 2022 SIMP hanya menggunakan CPO yang diproduksi sendiri dan tidak ada pembelian dari luar. Selain itu, dengan adanya program Minyakita yang lebih diminati oleh konsumen, berpengaruh pada fokus produksi dari SIMP yang juga mengikuti program produksi Minyakita. Hal tersebut berdampak pada penurunan service level dari migor kemasan komersil yang diproduksi oleh SIMP.(*)