JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyarankan Kementerian Perdagangan keluarkan regulasi terkait pelaksanaan kewajiban pembayaran rafaksi minyak goreng pada pelaku usaha yang telah selesai diverifikasi. Regulasi tersebut sangat mendesak guna menghindari kerugian yang lebih besar pada masyarakat maupun iklim usaha.
Hal ini disampaikan Komisioner KPPU Chandra Setiawan dan Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala dalam pertemuan dengan media yang dilaksanakan secara virtual Rabu (10/5/2023). Hal tersebut dinyatakan KPPU dalam menyikapi adanya rencana boikot atau pembatasan pembelian minyak goreng oleh para pelaku ritel sebagai akibat belum dibayarkannya tagihan rafaksi yang mencapai Rp344 miliar.
Sebagai informasi, adanya gangguan kebijakan berkaitan dengan rafaksi dapat menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif, karena tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha.
“Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Untuk itu penting bagi KPPU dalam ikut serta dalam mengatasi persoalan tersebut. KPPU melihat kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan rafaksi (selisih antara Harga Acuan Keekonomian/HAK dengan Harga Eceran Tertinggi/HET), yakni Permendag No. 3 Tahun 2022, berdasarkan penilaian menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) belum mempertimbangkan aspek efisiensi dalam pelaksanaannya,” ujar Chandra.
Berdasarkan informasi dari Pemerintah, HAK minyak goreng kemasan bulan Januari 2022 adalah sebesar Rp17.260, yang berada di bawah harga rata-rata Januari 2022 sebesar Rp20.914. Sementara berdasarkan Permendag No. 3 Tahun 2022, HET minyak goreng kemasan adalah sebesar Rp14.000. Peraturan tersebut mengatur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melakukan pembayaran subsidi dari selisih HAK dan HET yang ditetapkan sebagai akibat pelaksanaan kebijakan satu harga minyak goreng kemasan yakni Rp14.000. Dengan tidak dilaksanakannya kebijakan Permendag No. 3 Tahun 2022, diperkirakan terdapat tagihan rafaksi sebesar Rp1,1 triliun yang tidak dibayarkan. Tagihan tersebut berasal dari produsen minyak goreng dan distributor yang mencapai lebih kurang Rp700 miliar dan sebesar Rp344.355.425.760 kepada sekitar 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia. Dalam hal ini pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar dan selisih harga HAK dengan HET.
Saat ini, Kementerian Perdagangan dan BPDPKS tidak dapat melakukan pembayaran karena peraturan di atas yang menjadi dasar pembayaran, telah dicabut dan tidak terdapat peraturan peralihan yang mengatur proses pembayaran yang diamanatkan dalam peraturan tersebut. Pemerintah masih meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung untuk mengeluarkan kebijakan tersebut. KPPU telah memanggil dan mendengarkan keterangan dari Kementerian Perdagangan dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) kemarin tanggal 9 Mei 2023, dan disepakati bersama oleh kedua pihak untuk menyampaikan ke media bahwa, terkait pembayaran penyediaan minyak goreng kemasan dengan skema pembayaran dana BPDPKS masih menunggu pendapat hukum dari Kejaksaan Agung.
Selain itu, KPPU melihat bahwa gap atau celah antara harga CPO dan harga minyak goreng di Indonesia semakin besar. Dari data rasio harga CPO/minyak goreng, dicatat bahwa rata-rata rasio pada tahun 2021 sebesar 25%, sementara pada tahun 2023 menunjukkan angka sebesar 40%. Sehingga antara dua tahun tersebut, diestimasi potensi kerugian konsumen dengan adanya kenaikan harga minyak goreng akibat sentimen tersebut mencapai Rp457 miliar. Kerugian masyarakat ini akan terus meningkat, jika harga minyak goreng meningkat sebagai akibat upaya pelaku usaha yang membatasi akses atau penjualan minyak goreng kepada masyarakat.
Untuk itu, KPPU menyarankan Pemerintah c.q. Kementerian Perdagangan mengeluarkan regulasi yang isinya adalah melaksanakan kewajibannya untuk membayar pelaku usaha yang telah selesai diverifikasi sesuai dengan Permendag No. 3 Tahun 2022. Persoalan ini patut menjadi prioritas Pemerintah guna menghindari kerugian atau dampak yang lebih luas kepada masyarakat. Terlebih minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga adanya gangguan dalam pasokan akan mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng dan pada akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap tingkat inflasi.(**)